Luwu Raya

Pengrajin Kain Kulit Kayu Rampi, Menanti Uluran Tangan Pemerintah

×

Pengrajin Kain Kulit Kayu Rampi, Menanti Uluran Tangan Pemerintah

Sebarkan artikel ini

Luwu Raya, ambarnews.comDi sebuah dusun terpencil bernama Onondowa, jauh dari keramaian kota dan hingar-bingar teknologi, seorang perempuan bernama Herlina Shinta masih memukul-mukul kulit kayu dengan sabar. Bukan untuk bertahan hidup semata, tapi untuk menjaga warisan yang hampir punah: kain kulit kayu Rampi.

Di tengah hamparan hijau bebatuan Kecamatan Rampi, Luwu Utara, waktu seakan berjalan lebih lambat.

Modernisasi datang, tapi tak sepenuhnya merambah hingga ke jantung tradisi mereka.

Di desa ini, Herlina Shinta, perempuan paruh baya yang lembut bicaranya namun kokoh hatinya, masih memelihara satu dari sedikit tradisi tertua di Sulawesi Selatan: membuat kain dari kulit kayu beringin.

“Dulu nenek saya pakai ini tiap hari. Untuk kerja di kebun, untuk ke pesta, bahkan untuk menikah,” tuturnya pelan, matanya menerawang ke masa lalu, Selasa, 8 April 2025.

Kini, ia dan suaminya tinggal seorang dari segelintir pengrajin yang tersisa.

Anak-anak muda? Tak satupun terlihat tertarik. Kain kulit kayu dianggap kuno.

Lagipula, harganya pun tak layak disebut upah. Anak-anak muda lebih tertarik jadi pekerja di kota

“Kami buatnya berhari-hari, tapi dijual murah. Anak-anak lihat ini tak menguntungkan, Saya khawatir kelak tak ada lagi yang meneruskan. Ini peninggalan nenek moyang kami,” tambahnya.

Pukulan Bertalu untuk Tradisi yang Terlupakan

Di rumah miliknya, Herlina dan suaminya mengajak kami melihat proses pembuatannya.

Kulit kayu yang direndam lalu dipukul bertalu-talu hingga lunak, kemudian dijemur dan diberi warna dari tumbuhan—indigo, turi, daun mangga, atau mengkudu.

Semuanya serba alami, serba perlahan.

Tak ada mesin. Tak ada polusi. Hanya warisan tangan dan sabar.

Tapi sabar saja tak cukup untuk mempertahankan hidup.

“Kami butuh tempat kerja. Kalau ada pondok atau sekretariat, saya bisa ajar anak-anak dan menarik minat generasi muda. Tapi sekarang? Saya cuma dibantu suami dan anak-anak itupun kalau mereka sempat pulang dari kota,” katanya dengan nada lirih.

Antara Asa dan Nyata
Melintasi jalan berbatu dan lereng curam menuju Kecamatan Rampi, Luwu Utara, menjadi perjalanan panjang yang tak hanya menyajikan pemandangan eksotis, tetapi juga kisah pilu tentang hilangnya satu per satu jejak budaya lokal.

Di Desa Onondowa, sekelompok kecil pengrajin masih setia menjaga tradisi membuat kain dari kulit kayu pohon beringin.

Namun usia mereka tak lagi muda, dan generasi muda tak menunjukkan minat melanjutkan.

Di usianya yang tak lagi muda, Herlina masih menyimpan cita-cita besar: mendirikan sebuah koperasi agar para pengrajin punya tempat layak untuk menjual hasil karya mereka.

Bahkan ia sempat bermimpi membangun galeri kecil, tempat di mana kain kulit kayu bisa tampil seperti kain tenun Toraja atau songket Palembang.

Namun, semua itu masih sebatas mimpi. Pemerintah belum datang, belum bertanya, apalagi membantu.

“Belum ada perhatian. Padahal tinggal kami-kami ini yang masih bisa bikin. Kalau saya mati, siapa lagi?” tanyanya, tak sedang bercanda.

Menanam Pohon, Menanam Harapan
Meski dihadang keterbatasan, Herlina tak menyerah. Ia mulai menanam kembali pohon beringin di halaman belakang.

Ia tahu, butuh waktu bertahun-tahun hingga pohon itu siap diolah. Tapi ia percaya, menjaga budaya tak bisa instan.

Kalau kita tak mulai sekarang, nanti semua tinggal cerita,” ucapnya sambil menggenggam selembar kain kulit kayu yang sudah jadi.

Sepotong Kulit Kayu, Seutas Harapan dari Rampi yang Hampir Padam

Yustus Bunga, SP seorang aktivis sosial, menyebut situasi ini sebagai “darurat budaya”.

“Pemerintah terlalu banyak urusan seremonial. Kalau soal kain kulit kayu, mereka datang saat festival, tapi setelah itu hilang,” ujar Yustus.

“Ini bukan sekadar produk budaya, ini identitas. Kalau lenyap, tak bisa diganti.” imbuhnya

Ia menyerukan agar Pemda Luwu Utara membentuk program pendampingan khusus untuk pengrajin kain kulit kayu Rampi.

“Berdayakan mereka, tanam ulang beringin sebagai bahan baku, fasilitasi pasar digital. Ini investasi budaya.” tambah dia lagi.

Yustus menyakini, di dunia yang kian sibuk mencari yang baru, Herlina Shinta mengajarkan pentingnya menjaga yang lama.

Sepotong kain kulit kayu mungkin tak terlihat istimewa di mata banyak orang, tapi bagi masyarakat Rampi, itu adalah sejarah, identitas, dan jiwa.

Dan kini, semua itu berada di ujung tanduk.

“Rampi tak butuh simpati. Ia butuh aksi. Sebelum satu-satunya suara dentingan kulit kayu yang dipukul—gugur, hening, dan akhirnya hilang dari bumi Lamaranginang,” pungkas Yustus sambil matanya menatap jauh ke lereng-lereng sunyi desa Rampi.

*** Benny/Yustus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.bing.com/webmaster/BingSiteAuth.xml?url=https%3a%2f%2fambarnews.com%2f