Luwu Raya

Gelombang Penolakan Revisi UU TNI Berlanjut di Gelanggang MK

×

Gelombang Penolakan Revisi UU TNI Berlanjut di Gelanggang MK

Sebarkan artikel ini

Foto Ilustrasi

Luwu Raya, ambarnews.com – Setelah gelombang demonstrasi menghiasi berbagai kota menolak pengesahan Revisi UU TNI, kini babak baru dimulai di Mahkamah Konstitusi.

Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum UI dan koalisi masyarakat sipil resmi mengajukan uji materi, menyebut proses legislasi cacat prosedur dan berpotensi membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil.

Sebelumnya, pada Kamis, 20 Maret 2025, DPR RI bersama pemerintah mengesahkan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, meski penolakan publik menggema di berbagai daerah.

Aksi massa menyuarakan kekhawatiran tentang semakin melemahnya supremasi sipil dan berulangnya sejarah kelam militerisme masa Orde Baru.

Substansi revisi yang dipermasalahkan terutama terletak pada Pasal 47 dan Pasal 7 ayat 2(b). Dalam Pasal 47, jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI diperluas dari 10 menjadi 14.

Sementara itu, Pasal 7 ayat 2(b) menyebutkan TNI dapat berperan dalam operasi militer selain perang, termasuk “membantu tugas pemerintahan di daerah.”

Frasa “membantu tugas pemerintahan di daerah” menjadi sorotan tajam karena tidak dijelaskan secara eksplisit batasannya.

Ketidakjelasan ini membuka ruang tafsir yang luas dan menimbulkan kekhawatiran akan digunakannya TNI sebagai alat kontrol atas pemerintahan sipil di tingkat lokal.

“Pasal ini seperti cek kosong yang diberikan pada pemerintah. Bisa diisi sesuka hati, tergantung siapa yang berkuasa,” terang Bunga, aktivis sosial dari Luwu Utara.

Ia menambahkan, “Kalau militer mulai masuk terlalu jauh ke urusan sipil, maka kita seperti mundur puluhan tahun ke belakang.” ucapnya, Sabtu (5/4/2025).

Tidak butuh waktu lama untuk melihat dampak nyata revisi UU ini. TNI langsung menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan institusi pendidikan.

Salah satu yang menonjol adalah kesepakatan antara TNI AD dan Pemprov Jawa Barat yang diteken pada 14 Maret 2025.

Ruang lingkupnya mencakup pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi didanai oleh APBD. Peran TNI dalam proyek ini seolah menempatkannya sebagai kontraktor negara.

Sementara itu, di Universitas Udayana Denpasar dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, pihak militer mulai menggelar seminar dan kerja sama program kampus.

Di Papua, permintaan data mahasiswa asal daerah tersebut menimbulkan kecurigaan adanya upaya pemetaan atau bahkan pengawasan terhadap gerakan mahasiswa.

Menurut Bunga, ini bukan lagi wacana, tapi praktik yang nyata.

“Kampus harusnya jadi benteng intelektual dan kebebasan berpikir. Kalau sudah dimasuki militer, kita harus bertanya: siapa yang sedang diawasi, dan untuk kepentingan siapa?” ujarnya.

Di tengah kegelisahan publik, sembilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka menyoroti cacat prosedural dalam proses legislasi, terutama soal kecepatan pembahasan dan minimnya partisipasi publik.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun menempuh langkah serupa.

Mereka menilai pembahasan revisi UU TNI tidak hanya tertutup, tetapi juga terindikasi dilakukan secara diam-diam.

Beberapa rapat pembahasan bahkan digelar di hotel mewah pada hari libur, mengesankan ada agenda tersembunyi.

Fakta bahwa revisi ini tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2025 juga memperkuat dugaan bahwa proses ini dipaksakan.

DPR dan pemerintah terlihat sangat tergesa-gesa, mengesampingkan norma demokrasi dan prinsip transparansi.

Menanggapi kritik publik, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menyatakan bahwa revisi UU ini justru memperjelas batas-batas keterlibatan TNI dalam ranah sipil.

Ia mencontohkan bahwa personel TNI aktif hanya diperbolehkan mengisi jabatan di 14 K/L tertentu, dan harus mengundurkan diri jika ingin menjabat di luar itu.

Namun, Bunga menilai penjelasan tersebut hanya menenangkan di permukaan.

“Masalahnya bukan hanya di jabatan mana yang boleh atau tidak. Masalahnya adalah: kenapa militer masih terus dibiarkan berperan di wilayah yang seharusnya menjadi tanggung jawab sipil?” jelas Bunga.

Kini, semua mata tertuju ke Mahkamah Konstitusi. Namun sebagaimana sering terjadi dalam perkara politik strategis, hasil sidang MK belum tentu menjawab keresahan publik.

“Apapun putusan MK nanti, ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal arah bangsa. Kita mau tetap pada jalur demokrasi, atau kembali ke rezim bayonet yang mengekang kritik dan kontrol?” tegasnya.

Bagi masyarakat sipil, revisi UU TNI bukan sekadar kebijakan.

Ini adalah simbol dari tarik ulur antara demokrasi dan kekuatan lama yang ingin bangkit kembali.

“Gelanggang Mahkamah Konstitusi pun kini menjadi arena pertarungan antara dua kutub itu dan hasilnya akan menentukan arah Indonesia ke depan,” pungkas Bunga Aktivis Sosial di  Luwu Utarai,” pungkasnya.

*** Yustus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.bing.com/webmaster/BingSiteAuth.xml?url=https%3a%2f%2fambarnews.com%2f